Sunday, April 2, 2023

Batu Menangis



Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis cantik bersama ibunya yang merupakan seorang janda tua. Ayah dari gadis tersebut sudah lama telah tiada dan karena inilah gadis cantik dan ibunya hidup serba sulit. Untuk menafkahi hidup mereka berdua, ibu dari gadis cantik ini rela bekerja kasar di ladang kecil mereka. Karena kerja keras ini, ibu gadis cantik tersebut lama kelamaan menjadi lebih kurus dan kulitnya menjadi makin lama makin gelap. Sayang, gadis cantik itu sudah terbiasa dengan hidup yang bermalas-malasan dan kerjanya hanya bersolek di depan cermin.

“Diriku cantik sekali. Semua orang yang melihat perawakanku pasti langsung mengagumi kecantikanku. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan kecantikanku ini,” ucap gadis tersebut dalam hati sambil memandangi bayangannya di depan cermin. Setiap kali ibunya meminta bantuannya di ladang atau melakukan hal-hal yang setidaknya dapat dilakukan oleh gadis tersebut, ia akan selalu membantah dan memarahi ibunya.

Pada suatu hari, setelah gadis cantik tersebut selesai mandi, ia langsung menuju kotak bedaknya. Namun, ia lupa bahwa bedaknya sudah habis, dan langsung mengeluh.

“Huh, seharusnya tadi aku meminta uang pada ibu untuk membeli bedak,” keluhnya. Setelah ibunya pulang dari ladang, ia langsung meminta ibunya untuk membelinya bedak dengan wajah yang masam, bukan dengan wajah penuh senyuman.

“Bu, belikan aku bedak!” kata gadis cantik tersebut, tidak melihat ibunya sekalipun.

“Jangan dulu, Nak. Ibu masih belum punya cukup uang, sekarang pun kita uang Ibu hanya cukup untuk membeli makanan kita untuk bulan ini,” jawab ibunya dengan rasa sedih.

“Ibu pelit! Mengapa aku mempunyai ibu yang pelit seperti ini? Aku juga tidak pernah meminta ibu untuk melahirkan aku ke dunia. Aku juga tidak pernah meminta ibu untuk menjadi ibuku!” ujar gadis cantik itu. Mendengar hinaan dari anaknya ini, ibu gadis cantik tersebut merasa sakit hati. Sebagai ibu yang sabar dan perhatian, ibu gadis cantik itu pun rela merogoh dompet kecilnya yang memiliki isi yang tidak banyak demi membahagiakan putri tunggalnya itu.

Pada keesokan harinya, sang ibu pun mengajak anaknya ke pasar untuk membeli bedak yang diinginkan anaknya.

“Ayo, Nak, ikut ibu ke pasar. Bukankah kamu ingin membeli bedak baru?” tanya ibu gadis cantik di depan kamarnya.

“Benarkah?” tanya gadis cantik dari dalam kamarnya, wajahnya berseri-seri.

“Iya, benar,” jawab ibunya.

“Kalau begitu, ibu langsung ke pasar saja sekarang, dan belilah bedak baruku. Aku tidak mau ikut karena aku takut mukaku yang putih ini bisa jadi gelap dan kotor!” balas gadis cantik tersebut sambil bersolek di depan cermin.

“Tetapi, ibu tidak tahu bedak seperti apa yang kamu mau, Nak,” ujar ibunya sambil menghela nafas.

“Baiklah, aku akan ikut tapi dengan satu syarat. Ibu harus berjanji untuk tidak berjalan dekat-dekat denganku,” kata gadis cantik tersebut. Ia pun keluar dari kamar dan bersiap-siap untuk pergi ke pasar dengan ibunya.

Saat dalam perjalanan di pasar, gadis cantik tersebut berjalan dengan cepat agar ibunya ketinggalan jauh darinya. Ia pun tidak sekali pun menoleh ke belakang kepada ibunya yang setengah berlari mengejarnya. Tetapi, walaupun gadis cantik itu berusaha agar ibunya tidak dapat mendekatinya, ia tetap tidak bisa menghindar dari tatapan warga. Dan diantara warga yang menatapinya, teman-temannya juga melihatnya. Karena ini, mereka pun menghampirinya.

“Eh, kamu mau kemana?” tanya teman-temannya yang penuh pertanyaan.

“Ke pasar. Aku mau membeli bedak baru,” jawab gadis cantik tersebut dengan setengah hati dan perasaan cemas.

“Itu siapa ibu tua yang dari tadi mengikutimu dari belakang? Ibumu, ya?” tanya teman-temannya.

“Bukan, mana mungkin ibu tua itu ibuku. Lihat saja dari penampilannya, jelas berbeda denganku, apalagi dengan pakaian lusuh dan kotor itu!” jawab gadis cantik tersebut dengan nada tegas.

“Jadi itu siapa?” tanya teman-temannya, masih heran dengan kelakuan ibu tua yang sekarang sudah ada di belakang gadis tersebut.

“Pembantuku.” ujar gadis cantik dengan lantas.

“Pantas saja. Ya sudah, selamat berbelanja!” kata teman-temannya. Mereka pun berlalu.

Ibu gadis tersebut yang mendengar segala sesuatu yang diucapkan anaknya langsung tersentak dan menetes air mata. Mendengar tangisan ibunya yang sekarang sedang menunduk dengan sedih, gadis itu pun menoleh ke belakang.

“Bu, ibu sedang apa? Ayo, cepat berdiri, kita lanjut perjalanan kita,” kata gadis cantik tersebut kebingungan. Semua orang yang sedang berlalu-lalang pun berhenti dan mengerumuni ibu dan anak tersebut. “Cepat, bu, semua orang sedang melihat! Jangan membuatku malu!”

Dengan bibir yang bergetar, ibu gadis cantik tersebut pun berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan, aku sudah tidak sanggup lagi menahan kesedihan ini. Anakku sudah keterlaluan dan hamba tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Berikanlah hukuman yang setimpal untuk anak durhaka ini,” ucap sang ibu, terbata-bata.

Seketika itu, gadis cantik itu pun langsung panik, dan mencoba untuk lari menghindari kerumunan. Tetapi, benar saja, tubuh gadis itu semakin lama semakin kaku. Kakinya mulai mengeras, dilanjutkan dengan tubuhnya. Sebelum ia sepenuhnya menjadi batu, ia berteriak minta maaf.

“Maafkan aku, bu! Aku tau aku salah! Aku tidak akan mengulanginya!” jerit gadis cantik tersebut sambil menangis menyesali perbuatannya. Penyesalan selalu datang terlambat. Nasi pun sudah menjadi bubur. Permintaan maaf apa pun sudah tidak berguna. Warga desa nantinya memindahkan batu tersebut di dekat sebuah tebing, sebagai peringatan untuk tidak menjadi seorang anak yang durhaka. Batu ini pun nantinya dinamakan “Batu Menangis”, sesuai dengan akhir dari kehidupan gadis cantik tersebut.

No comments:

Post a Comment